Jika kamu rendah hati, tak ada satupun yang dapat mengusikmu; baik itu pujian maupun makian, sebab kamu tahu siapa dirimu sebenarnya.

Sunday, June 9, 2013

1 Kapal 2 Kapten

Ketika Anda membaca judul saya ini, apa yang terbersit dalam benak Anda? Kapal sungguhan yang sedang mengarungi ombak di lautan yang ganas kah? . .  ;P

Hmm . . sebenarnya bukan tentang kapal sungguhan itu yang akan saya tuliskan disini . .
Judul ini saya ambil terinspirasi dari sebuah acara retret interdenominasi gereja mengenai kehidupan berumah tangga.

Dalam kehidupan berumah tangga, pernahkah Anda lihat sang suami yang begitu tunduk menghadapi kemarahan istrinya? Atau pernahkah Anda lihat sang suami dan istri yang sama-sama berteriak marah? Atau pernahkah Anda lihat keputusan sang suami tiba-tiba dimentahkan begitu saja oleh sang istri? Atau Anda sendiri mengalaminya? . .
Perumpamaan 1 Kapal 2 Kapten memang adalah perumpamaan yang paling tepat menggambarkan situasi tersebut. Di era saat ini, dimana para istri cenderung mandiri secara finansial, bukan hal yang luar biasa. Banyak keluarga yang saya temui mengalami ("mempraktekkan") hal tersebut.

Kapal idealnya adalah dijalankan oleh 1 nahkoda. Kapal rumah tangga dinahkodai oleh suami, itu yang secara prinsip seharusnya dipahami.
Kolose 3:18-19
(18) Hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan.
(19) Hai suami-suami, kasihilah isterimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia.

Dua ayat ini merupakan pegangan utama dalam hidup berumah tangga agar tidak terjadi 1 Kapal 2 Kapten. Dua ayat ini tidak dapat hanya dijalankan salah satu, namun harus keduanya. Tidak juga dijalankan dengan saling menuntut, dalam arti suami membenarkan sikap kasarnya terhadap istri karena istri tidak tunduk; ataupun sebaliknya, istri membenarkan sikapnya yang tidak tunduk karena suami tidak memiliki kasih terhadap istrinya. Kedua ayat ini berjalan bersamaan, beriringan, meskipun kadang kala ada kealpaan salah satu mempraktekkannya, namun harus saling mengingatkan (dengan penuh kasih tentunya) untuk kembali lagi mempraktekkan kedua ayat ini.

Kata-kata "tunduklah kepada suamimu sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan" memiliki makna yang berarti di dalam segala hal seorang istri harus tunduk kepada suaminya, karena terdapat kata-kata "sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan".

Kata-kata "kasihilah isterimu" tersebut memiliki makna yang sangat mendalam, seperti kasih yang diajarkan Tuhan Yesus kepada kita:
                      Kasih itu sabar
                      Kasih itu murah hati
                      Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong
                      Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri
                      Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain
                      Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tapi karena kebenaran
                      Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengaharapkan segala sesuatu, 
                      dan sabar menanggung segala sesuatu.

Sedikit sharing pengalaman saya atas beberapa jenis keluarga 1 Kapal 2 Kapten yang sangat umum ditemui:

Kasus 1
Suami yang tidak tidak cukup menyokong keluarga secara finansial, dan istri bekerja untuk membantu kebutuhan finansial keluarga. Sang istri memutuskan semua hal tanpa bertanya dulu kepada suami mengenai pendapat dan keinginan suami.

Kasus 2
Suami yang memiliki kemampuan finansial yang sudah cukup untuk keluarga, istri juga bekerja namun dengan penghasilan yang lebih tinggi. Sang istri memutuskan semua hal yang menyangkut keluarga. Sang istri menganggap memiliki kontribusi lebih dalam keluarga sehingga tidak mempedulikan kewenangan suami sebagai pengambil keputusan.

Kasus 3
Suami orang yang plin-plan, bukan seorang pengambil keputusan yang cepat dan tepat. Istri terbiasa hidup cepat dan tipe seorang pengambil keputusan yang tepat. Istri langsung melakukan pengambilan keputusan untuk semua hal dalam keluarga.

Kasus 4
Suami orang yang kasar, semaunya sendiri, dan tidak bertanggung jawab. Istri mengambil alih seluruh kewenangan suami, termasuk keputusan-keputusan rumah tangga.


Menurut Anda, apakah istri yang bersikap demikian adalah benar?

Kasus 1
Kasus nomor 1 lebih pada kondisi jiwa istri yang kecewa terhadap suaminya. Ia melampiaskan dengan cara tersebut. Tentu saja hal ini tidak benar. Bagaimanapun suami adalah kepala rumah tangga. Rejeki sudah diatur Tuhan. Jika pada kenyataannya penghasilan suami tidak mencukupi dan istri harus ikut bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, lakukanlah dengan ikhlas, untuk kepentingan rumah tangga. Jangan menjadikan hal tersebut sebagai alasan untuk mengambil alih kewenangan suami sebagai pemimpin rumah tangga.

Kasus 2
Kasus nomor 2 lebih pada jiwa kesombongan seorang istri. Tentu saja hal ini tidak benar. Bagaimanapun suami adalah kepala keluarga. Jika penghasilan yang dimiliki istri lebih tinggi dari suami, semata itu adalah anugerah Tuhan. Justru karena anugerah Tuhan itu yang membuat keluarga tersebut seharusnya tetap berpegang pada firman Tuhan. Firman Tuhan ... yang salah satunya meminta agar istri tunduk pada suami.

Kasus 3
Suami yang tidak bisa mengambil keputusan adalah alasan pembenaran dari sikap istri yang tidak mau tunduk terhadap suami. Dan kita tahu, itu tetap saja hal yang salah. Jika sang istri adalah pengambil keputusan yang baik, bantulah suami agar dapat bertumbuh menjadi pengambil keputusan yang baik. Bukan dengan cara yang instan yaitu istri yang langsung mengambil keputusan.
Pertama, hal tersebut tidak sejalan firman Tuhan.
Kedua, hal tersebut menyakiti hati suami.
Ketiga, hal tersebut tidak membuat suami bertumbuh.
Keempat, hal tersebut akan menimbulkan kekecewaan-kekecewaan lain dalam keluarga tersebut.

Kasus 4
Untuk kasus 4, secara hukum manusia, hal tersebut dianggap sebagai pembenaran. Tapi tidakkah kita tetap harus mengikuti aturan Tuhan? Tuhan meminta istri untuk tunduk pada suaminya. Tuhan tidak pernah menyebutkan bahwa istri hanya tunduk pada suami yang baik saja. Sikap yang seharusnya dilakukan istri pada Kasus 4 adalah tetap menjadi istri yang tunduk pada suami, lalu berdoa dan berharap pada Tuhan agar sang suami memiliki kasih.
              Yesaya 40:31             
              Tetapi orang-orang yang menanti-nantikan Tuhan mendapat kekuatan baru,
              mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya,
              mereka berlari dan tidak menjadi lesu,
              mereka berjalan dan tidak menjadi lelah.
             

Dalam hidup berumah tangga, sudah menjadi rahasia umum bahwa perbedaan pendapat sangat mungkin terjadi. Justru hal tersebut merupakan hal yang sehat dalam hidup berumah tangga. Perbedaan pendapat juga sangat mungkin berujung pertengkaran. Setidaknya hal ini yang dapat saya bagikan untuk suami-istri yang sedang berselisih:

1. Setelah menikah, tutuplah mata rapat-rapat. Bukan berarti pendamping kita adalah orang yang sempurna, namun Tuhan telah memilihkan orang yang terbaik menjadi pendamping hidup kita.

2. Tidak marah disaat yang bersamaan. Jika yang satu sedang marah, yang lain diam dan dengarkan dahulu.
Marah adalah reaksi normal dan wajar sebagai manusia. Marah merupakan bagian dari jiwa; keberadaan emosi di dalam jiwa. Marah tentu saja berbeda dengan marah-marah. Marah sangatlah manusiawi, tapi marah-marah adalah menunjukkan ketidakmampuan seseorang mengontrol emosinya.

3. Jika sedang bertengkar, jangan pernah melampiaskan amarah dengan pergi meninggalkan rumah. Percayalah, hal itu kelihatannya menenangkan, namun sesungguhkan akan membawa masalah baru di masa depan.

(Eyang Warno)


Kolose 3:13
Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian.

No comments:

Post a Comment