Jika kamu rendah hati, tak ada satupun yang dapat mengusikmu; baik itu pujian maupun makian, sebab kamu tahu siapa dirimu sebenarnya.

Thursday, January 2, 2014

Film "SOEKARNO"

Film yang satu ini sempat luput dari perhatianku. Namun secara tak terduga, datang kesempatanku untuk menonton...
Awal dari film ini sempat menggelitikku karena muncul ikon sebuah production house yang biasanya membuat sinetron-sinetron Indonesia di televisi. Jujur, aku bukan peminat salah satu dari sinetron yang mereka buat karena menurutku karakternya terlalu dibuat-buat, konfliknya terlalu dipanjang-panjangkan, dan aku juga tidak suka karakter-karakter anak sekolah dari sinetron-sinetron yang ada (rok mini, rambut di cat, berpakaian seragam semaunya sendiri, baju dikeluarkan, baju menerawang dan sangat ketat untuk semua pemainnya//tidak hanya untuk karakter anak sekolah tertentu/yang bandel). Jadi aku sempat kaget mereka mensponsori film macam "Soekarno" ini.

Ketika aku menonton film "Soekarno" ini, aku mengacungkan semua jempolku. Seharusnya kita punya film atau sinetron banyak yang seperti ini. Ini film yang sangat mendidik. Film yang sangat bertujuan positif. Film yang betul-betul dapat dipetik pelajarannya dari sebuah sejarah. Tahu apa alasanku mengatakan ini semua?

Aku pernah bekerja di sebuah perusahaan media terbesar di Indonesia. Dan, aku keluar karena banyak visi dan misi yang tidak sesuai dengan sudut pandang pendidikan menurut aku. Tapi, aku kan bukan yang punya perusahaan he..he.. jadi aku hanya bisa sumbang saran. Pada akhirnya, dari pada aku bekerja pada perusahaan yang memiliki sudut pandang "tontonan yang mendidik" yang berbeda denganku, aku memilih tidak berada di perusahaan tersebut lagi.

Lalu kenapa film "Soekarno" ini menurutku luar biasa untuk pendidikan kita?
Sedikit dari alasanku telah kukemukakan di paragraf pertama tulisanku ini. Selengkapnya adalah:

1. Film ini memiliki karakter pemain yang bisa dipetik pelajaran nyata
2. Film ini tidak memiliki dramatisasi yang berlebihan, tidak seperti sinetron-sinetron yang ada sekarang ini.
3. Film ini memiliki unsur sejarah yang pasti kita pernah pelajari di sekolah tetapi belum tentu kita jiwai keadaaannya. Lewat film ini, film ini mampu menggugah jiwa penonton untuk memahami pengorbanan pahlawan dan rasa nasionalisme kebangsaan.
4. Film ini mampu menyegarkan ingatan penontonnya mengenai sosok seorang pemimpin yang seharusnya. Pemimpin Indonesia, khususnya. Indonesia yang memiliki keragaman suku, agama, budaya, adat istiadat, dan ras. Pemimpin dalam film ini telah menunjukkan bahwa pemimpin dengan karakter Soekarno adalah pemimpin yang dibutuhkan Indonesia karena mampu menyatukan semua perbedaan itu dan memimpin rakyat dengan arif dan bijaksana.


  • Karakter Inggit. Ia merupakan sosok wanita yang tangguh, pembela monogami, dan memiliki prinsip. Ketika Soekarno mengajukan keinginan untuk menikahi Fatmawati, Inggit dengan nyata menolak. Cara ia marah pun, tidak seperti karakter-karakter yag ditampilkan di sinetron-sinetron Indonesia saat ini. Ia menunjukkan cara marah yang "anggun" walaupun ia melempar benda-benda kepada Soekarno sebagai pelampiasan kemarahannya. Ini adalah sebuah contoh kemarahan yang harusnya mampu menggugah semua penonton film "Soekarno". Marah adalah kejadian emosional seseorang. Namun, marah tidak perlu didramatisir. Apalagi dramatisir tersebut sampai ditiru oleh penonton. Sungguh, sinetron dapat memberikan dampak yang buruk dengan cara marah yang didramatisir.
  • Karakter Fatmawati. Ia memang "perebut suami orang". Di dunia ini tidak dapat kita pungkiri bahwa ada wanita-wanita seperti ini. Namun film ini jelas memberikan pendidikan karakter mengenai akibat "perebut suami orang" yakni ketika Riwu menatap foto Inggit selama lebih dari satu minggu. Fatmawati merasa dibanding-bandingkan, bahkan tanpa Riwu berkata-kata (hanya menatap foto Inggit). Ini pendidikan karakter tanpa dramatisasi. Pesannya sangat jelas dan langsung ke titik sasaran. Apa yang dialami Fatmawati tanpa perlu dibesar-besarkan, didramatisasi, tetapi emosi penonton telah masuk ke dalamnya.
  • Jiwa pemimpin betul-betul ditonjolkan di film ini, sekali lagi, tanpa perlu didramatisir (tanpa mata yang dibelalakkan berkali-kali, tanpa kamera yang di-zoom ke wajah berkali-kali untuk menunjukkan/mengekspos emosi aktor, dll). Percakapan antara Soekarno dan Hatta yang mengatakan bahwa semua yang mereka lakukan semata-mata demi kepentingan kemerdekaan Indonesia. Kegelisahan Hatta mengenai kemampuan mereka berdua untuk memimpin Indonesia secara adil. Artinya, mereka menampilkan sosok pemimpin yang tidak memikirkan diri mereka sendiri. Mereka menjadi pemimpin bukan karena mereka inginkan. Tapi mereka menjadi pemimpin karena mereka "dipilih" oleh rakyat, rakyat yang menginginkan mereka menjadi pemimpin. Rakyat mempercayai mereka dan mereka mengemban amanat rakyat sebaik-baiknya. Dan sangat jelas, Soekarno membawa diri sebagai pribadi yang sangat menginginkan keadilan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia adalah ketika ia merumuskan dan mengemukakan Pancasila sebagai dasar negara. Ia tidak perlu meyakinkan majelis sidang dengan menyogok, melobi, dan sejenisnya. Semua ia lakukan spontan di depan majelis sidang. Semua yang mendengarnya langsung mengangguk setuju, padahal awalnya sebelum Soekarno mengajukan Pancasila, beberapa orang lainnya yang maju telah menyebabkan keributan karena pro dan kontra. Namun, Pancasila yang dikemukakan Soekarno langsung disetujui semua pihak, karena apa yang ia kemukakan tidak mengandung kepentingannya seorang/kelompok, tetapi ia berusaha mencari dasar negara bagi semua rakyat Indonesia. Ia berusaha adil. Ia memikirkan kepentingan seluruh rakyat.


Semoga semakin banyak film-film seperti ini. Film-film yang memiliki unsur yang jelas untuk ditonjolkan tanpa perlu dibuat-buat menonjol.

Karena sesungguhnya,
apa yang berasal dari hati, selalu menyentuh hati.

MERDEKA!